Rabu, 01 September 2010

ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.

اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ وَلاَزَماَنٍ
"Allah ada tidak membutuhkan tempat, tanpa arah dan waktu".

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Qs.Asy-Syuura:11)

“Tuhan tidak bisa dipikirkan (dibayangkan)” H.R. Abu al Qasim alAnshari

( ( فإن الله غني عن العالمين ) (سورة آل عمران : 97
Maknanya : “Maka sesungguhnya Allah maha kaya
(tidak membutuhkan) dari alam semesta”. (Q.S. Al
Imran : 97)

Belum sempurna Iman seorang hamba sebelum aku lebih dicintainya dari harta dan keluarganya” (Shahih Muslim).

Rasulullah saw.bersabda:"Sesungguhnya lafadz ar Rahmaan,maka Allah swt.berfirman: "Barangsiapa yg menghubungkanmu,Aku menghubungkan diri pula dengannya,dan Barangsiapa memutuskan silaturahmi tamu2-ku yg hendak beradab haji atau umrah,Aku memutuskan diri pula dengannya."(hadits riwayat:Bukhari)

Kata-kata Sayyidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
terjemahnya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaannya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.


MENURUT IMAM MALIK :

Imam Malik ibn Anas (W 179 H) Berkeyakinan Allah Ada Tanpa Tempat, Tidak Seperti Yang Sering Diselewengkan Kaum Wahhabiyyah..!!
Bagikan
25 September 2009 jam 10:54
Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata:

“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?. Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena "bagaimana" (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)".

Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.

Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur'an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.

Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita. Hal ini berbeda dengan orang-orang Wahhabiyyah yang salah paham terhadap pernyataan al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya saja, --menurut mereka--, Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. A'udzu Billah.

Untuk membantah keyakinan kaum Wahhabiyyah tersebut, kita katakan kepada mereka: Dalam perkataan al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah maha suci dari pada anggota-anggota badan.
Yang mengherankan, kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”. Perkataan semacam ini sama sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya. Tujuan kaum Musyabbihah mengucapkan kata tesebut tidak lain adalah untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. Karena itu mereka seringkali mengatakan: "Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui". Atau terkadang mereka juga berkata: "Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui". jadi, Perkataan kaum Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang-orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik. A'udzu Billah.

Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:

“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).

Ada pelajaran penting yang dapat kita tarik dari peristiwa ini. Jika al-Imam Malik sangat marah terhadap orang tersebut hanya karena menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, hingga mengklaimnya sebagai ahli bid’ah, maka tentunya beliau akan lebih marah lagi terhadap mereka yang dengan terang-terangan mengartikan Istawa dengan duduk, bertempat atau bersemayam! Dapat kita pastikan seorang yang berpendapat kedua semacam ini akan lebih dimurkai lagi oleh al-Imam Malik. Hal itu karena mengartikan Istawa dengan duduk atau bersemayam tidak hanya menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, tapi jelas merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan sesungguhnya sangat tidak mungkin seorang alim sekaliber al-Imam Malik berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah. Al-Imam Malik adalah Imam kota Madinah (Imam Dar al-Hijrah), ahli hadits terkemuka, perintis fiqih madzhab Maliki, sudah barang tentu beliau adalah seorang ahli tauhid, berkeyakinan tanzih, mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta). Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).

Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit). Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.


المبتدعات
وهناك من أهل التجسيم من يأخذون من الآيات والأحاديث ما يرونه حسب تفكيرهم القاصر يوافق... معتقداتهم الفاسدة حيث أنهم ينسبون لله تعالى الجهة ألا وهي الجهة الفوقية ودليلهم على ذلك عند قوله تعالى: } إليه يصعد الكلم الطيب { وقال: } وهو القاهر فوق عباده { وقوله : } يخافون ربهم من فوقهم ويفعلون ما يؤمرون { وقوله تعالى: } أأمنتم من في السماء { وقوله عندما رفع الله عيسى ابن مريم عليه الصلاة والسلام إلى السماء : } بل رفعه الله إليه { وغيرها من الآيات ويقولون هذا دليل على أنه تعالى في الجهة فوق . نقول لا بأس فماذا تقولون إذا جاءتكم جماعة نفوا الجهة الفوقية وجاءوا بالآيات والأحاديث أن الله بالجهة التحتية أو أنه تحت؟؟؟ حيث قال إبراهيم عليه الصلاة والسلام : } وقال إني ذاهب إلى ربي سيهدين { مع كون سيدنا إبراهيم عليه الصلاة والسلام لم يعرج إلى السماء!!! وقال تعالى } وهو الله في السموات وفي الأرض { وقوله: } فأينما تولوا فثم وجه الله { وقوله: } ونحن أقرب إليه من حبل الوريد { وقوله : } وهو الذي في السماء إله وفي الأرض إله { وقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: )) أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد، فأكثروا الدعاء (( رواه مسلم . وقال أيضا: )) إن الله عز وجل قِبَلَ وجه أحدكم إذا صلى فلا يبصق بين يديه (( رواه البخاري وأبو داود . فإذا أخذتم أيها لمجسمة آيات الله التي تشير أنه في الجهة الفوقية على حقيقتها يلزم أن تأخذوا الآيات التي تشير أن الله في الجهة التحتية على حقيقتها، فتكنوا قد حملتم القرآن الكريم على التناقض
وكذلك أحاديث المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم، وضربتم بآيات الله بعضها ببعض. قال الإمام أبوحنيفة رحمه الله : "ونقر بأن اللهسبحانه وتعالى علىالعرش استوى من غير أنيكون له حاجة إليه...واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا" اهـ.
] كتاب الوصية، ضمن مجموعة رسائل أبي حنيفة بتحقيق الكوثري )ص/ 2( ، وملا علي القاري في شرح الفقه الاكبر )ص/ 75( عند شرح قول الامام: ولكن يده صفته بلا كيف[" وقال الذهبي رحمه الله))هذ ثابت عن مالك وتقدم نحوه عن ربيعة شيخ مالك وهو قول أهل السنة قاطبة اي أغلبية : أن كيفية الإستواء لا نعقلها بل نجهلها وأن استواء ه معلوم كما أخبر في كتابه وأنه كما يليق به ولا تعمق ولا نتحذلق، ولا نخوض في لوازم ذلك نفيا ولا إثباتا بل سكت ونقف كما وقف السلف ونعلم لو أنه كان له تأويل لبادر إلى بيانه الصحابة والتابعون، ولما وسعهم إقراره وامراره والسكوت عنه، ونعلم يقينا مع ذالك أن الله جل جلاله لامثل له في صفاته ولا في استواءه ولا في نزوله سبحانه وتعالى عما يقول الظالمون علوا كبيرا)محاسن التأويل 7/2704(قال الإمام أبو جعفر الطحاوي المولود سنة 227هـالمتوفى سنة 321هـ:-" تعالى )يعني الله( عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات ولا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات " ا.هـ.وقال:- " ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر" ا.هـ. فقد نقل الإمام أبو الفضل التميمي الحنبلي ي كتاب " اعتقاد الإمام أحمد " عن الإمام أحمد أنه قال : "والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش ، وكان ينكر- الإمام أحمد - على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلهامحدودة ". وبين الإمام الحافظ بن الجوزي الحنبلي في كتابه "دفع شبه التشبيه " براءة أهل السنة عامة والإمام أحمد خاصة من عقيدة المجسمة وقال: " كان أحمد لا يقول بالجهة للبارئ " ولقد كفر من الذين يقولون لله
بالتجسيم ". بل نقل صاحب الخصال من الحنابلة عن أحمد أنه قال
بتكفير من قال: " الله جسم لا كالأجسام ". عن أبو الفضل التميمي
عن الإمام أحمد ابن حنبل قال " مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك " دليل على نصاعة عقيدته وأنه على عقيدة التنـزيه-كذلك أول الإمام أحمد الآيات المتشابهات في الصفات فقد روى الحافظ البيهقي ، عن الحاكم، عن أبي عمرو بن السماك، عن حنبل، أن أحمد بن حنبل تأول قول الله تعالى:
}وَجَاءَ رَبُّكَ{ أنه: جاء ثوابه. ثم قال البيهقي: وهذا إسناد لا غبار عليه. و نقل ذلك ابن كثير في تاريخه. وفي رواية نقلها البيهقي في كتاب"مناقب أحمد " أن الإمام قال : " جاءت قدرته " أي أثر من ءاثار قدرته، ثم قال الحافظ البيهقي : " وفيه دليل على أنه كان لا يعتقد في المجيء الذي ورد به الكتاب والنـزول الذي وردت به السنة انتقالا من مكان إلى مكان كمجيء ذوات الأجسام ونزولها وإنما هو عبارة عن ظهور ءايات قدرته" وهكذا كل أقوال السلف
أنهم يمرون الصفات كما جاءت وينزهون الصفات لله من كل صفات
النقصان والسلف هم الأولون الذي قال لهم الله أولئك المقربون في جنات النعيم ونحن متبع لهم ولا نبتدع بعقيدة الفاسدة الباطلة كقول أن الله جالس في العرش و أيضا قول ان الله لم يزل مع العرش
وأنه مستقرا في العرش ويتخذ العرش مكانا له وهذه عقيدة باطلة فلابد لنا ان نجتنب من كل المعتقدات الفاسدة الباطله

kesimpulan, Aqidah Imam Malik, Imam AbuHanifah, Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.

PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA MUKTABAR

Salah seorang penulis Syarh Shahih al-Bukhari, as-Syekh ‘Ali ibn Khalaf al-Maliki yang dikenal dengan Ibn Baththal (w 449 H) menuliskan sebagai berikut:

غَرْضُ البُخَارِيّ فِي هذَا البَاب الرّدُّ عَلَى الْجَهْمِيّةِ الْمُجَسِّمَةِ فِي تَعَلُّقِهَا بِهذِه الظّوَاهِر، وَقَدْ تَقَرّرَ أنّ اللهَ لَيْسِ بِجِسْمٍ فَلاَ يَحْتَاجُ إلَى مَكَانٍ يَسْتَقِرّ فِيْهِ، فَقَدْ كَانَ وَلاَ مَكَان، إنّمَا أضَافَ المَعَارِجَ إلَيْه إضَافَةُ تَشْرِيفٍ، وَمَعْنَى الارْتفَاعِ إلَيْهِ اعْتِلاؤُه، أى تَعَالِيْهِ، مَعَ تَنْزِيْهِهِ عَنِ الْمَكَانِ.

“Tujuan al-Bukhari dalam membuat bab ini adalah untuk membantah kaum Jahmiyyah Mujassimah, di mana kaum tersebut adalah kaum yang hanya berpegang teguh kepada zhahir-zhahir nash. Padahal telah ditetapkan bahwa Allah bukan benda, Dia tidak membutuhkan kepada tempat dan arah. Dia Ada tanpa permulaan, tanpa arah dan tanpa tempat. Adapun penisbatan “al-Ma’arij” adalah penisbatan dalam makna pemuliaan (bukan dalam pengertian Allah di arah atas). Juga makna “al-Irtifa’” adalah dalam makna bahwa Allah maha suci, Dia maha suci dari tempat” (Fath al-Bari, j. 13, h. 416).

Tidak ada komentar: