Rabu, 01 September 2010

ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.

اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ وَلاَزَماَنٍ
"Allah ada tidak membutuhkan tempat, tanpa arah dan waktu".

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Qs.Asy-Syuura:11)

“Tuhan tidak bisa dipikirkan (dibayangkan)” H.R. Abu al Qasim alAnshari

( ( فإن الله غني عن العالمين ) (سورة آل عمران : 97
Maknanya : “Maka sesungguhnya Allah maha kaya
(tidak membutuhkan) dari alam semesta”. (Q.S. Al
Imran : 97)

Belum sempurna Iman seorang hamba sebelum aku lebih dicintainya dari harta dan keluarganya” (Shahih Muslim).

Rasulullah saw.bersabda:"Sesungguhnya lafadz ar Rahmaan,maka Allah swt.berfirman: "Barangsiapa yg menghubungkanmu,Aku menghubungkan diri pula dengannya,dan Barangsiapa memutuskan silaturahmi tamu2-ku yg hendak beradab haji atau umrah,Aku memutuskan diri pula dengannya."(hadits riwayat:Bukhari)

Kata-kata Sayyidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
terjemahnya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaannya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.


MENURUT IMAM MALIK :

Imam Malik ibn Anas (W 179 H) Berkeyakinan Allah Ada Tanpa Tempat, Tidak Seperti Yang Sering Diselewengkan Kaum Wahhabiyyah..!!
Bagikan
25 September 2009 jam 10:54
Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata:

“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?. Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena "bagaimana" (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)".

Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.

Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur'an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.

Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita. Hal ini berbeda dengan orang-orang Wahhabiyyah yang salah paham terhadap pernyataan al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya saja, --menurut mereka--, Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. A'udzu Billah.

Untuk membantah keyakinan kaum Wahhabiyyah tersebut, kita katakan kepada mereka: Dalam perkataan al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah maha suci dari pada anggota-anggota badan.
Yang mengherankan, kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”. Perkataan semacam ini sama sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya. Tujuan kaum Musyabbihah mengucapkan kata tesebut tidak lain adalah untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. Karena itu mereka seringkali mengatakan: "Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui". Atau terkadang mereka juga berkata: "Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui". jadi, Perkataan kaum Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang-orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik. A'udzu Billah.

Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:

“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).

Ada pelajaran penting yang dapat kita tarik dari peristiwa ini. Jika al-Imam Malik sangat marah terhadap orang tersebut hanya karena menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, hingga mengklaimnya sebagai ahli bid’ah, maka tentunya beliau akan lebih marah lagi terhadap mereka yang dengan terang-terangan mengartikan Istawa dengan duduk, bertempat atau bersemayam! Dapat kita pastikan seorang yang berpendapat kedua semacam ini akan lebih dimurkai lagi oleh al-Imam Malik. Hal itu karena mengartikan Istawa dengan duduk atau bersemayam tidak hanya menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, tapi jelas merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan sesungguhnya sangat tidak mungkin seorang alim sekaliber al-Imam Malik berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah. Al-Imam Malik adalah Imam kota Madinah (Imam Dar al-Hijrah), ahli hadits terkemuka, perintis fiqih madzhab Maliki, sudah barang tentu beliau adalah seorang ahli tauhid, berkeyakinan tanzih, mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta). Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).

Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit). Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.


المبتدعات
وهناك من أهل التجسيم من يأخذون من الآيات والأحاديث ما يرونه حسب تفكيرهم القاصر يوافق... معتقداتهم الفاسدة حيث أنهم ينسبون لله تعالى الجهة ألا وهي الجهة الفوقية ودليلهم على ذلك عند قوله تعالى: } إليه يصعد الكلم الطيب { وقال: } وهو القاهر فوق عباده { وقوله : } يخافون ربهم من فوقهم ويفعلون ما يؤمرون { وقوله تعالى: } أأمنتم من في السماء { وقوله عندما رفع الله عيسى ابن مريم عليه الصلاة والسلام إلى السماء : } بل رفعه الله إليه { وغيرها من الآيات ويقولون هذا دليل على أنه تعالى في الجهة فوق . نقول لا بأس فماذا تقولون إذا جاءتكم جماعة نفوا الجهة الفوقية وجاءوا بالآيات والأحاديث أن الله بالجهة التحتية أو أنه تحت؟؟؟ حيث قال إبراهيم عليه الصلاة والسلام : } وقال إني ذاهب إلى ربي سيهدين { مع كون سيدنا إبراهيم عليه الصلاة والسلام لم يعرج إلى السماء!!! وقال تعالى } وهو الله في السموات وفي الأرض { وقوله: } فأينما تولوا فثم وجه الله { وقوله: } ونحن أقرب إليه من حبل الوريد { وقوله : } وهو الذي في السماء إله وفي الأرض إله { وقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: )) أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد، فأكثروا الدعاء (( رواه مسلم . وقال أيضا: )) إن الله عز وجل قِبَلَ وجه أحدكم إذا صلى فلا يبصق بين يديه (( رواه البخاري وأبو داود . فإذا أخذتم أيها لمجسمة آيات الله التي تشير أنه في الجهة الفوقية على حقيقتها يلزم أن تأخذوا الآيات التي تشير أن الله في الجهة التحتية على حقيقتها، فتكنوا قد حملتم القرآن الكريم على التناقض
وكذلك أحاديث المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم، وضربتم بآيات الله بعضها ببعض. قال الإمام أبوحنيفة رحمه الله : "ونقر بأن اللهسبحانه وتعالى علىالعرش استوى من غير أنيكون له حاجة إليه...واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا" اهـ.
] كتاب الوصية، ضمن مجموعة رسائل أبي حنيفة بتحقيق الكوثري )ص/ 2( ، وملا علي القاري في شرح الفقه الاكبر )ص/ 75( عند شرح قول الامام: ولكن يده صفته بلا كيف[" وقال الذهبي رحمه الله))هذ ثابت عن مالك وتقدم نحوه عن ربيعة شيخ مالك وهو قول أهل السنة قاطبة اي أغلبية : أن كيفية الإستواء لا نعقلها بل نجهلها وأن استواء ه معلوم كما أخبر في كتابه وأنه كما يليق به ولا تعمق ولا نتحذلق، ولا نخوض في لوازم ذلك نفيا ولا إثباتا بل سكت ونقف كما وقف السلف ونعلم لو أنه كان له تأويل لبادر إلى بيانه الصحابة والتابعون، ولما وسعهم إقراره وامراره والسكوت عنه، ونعلم يقينا مع ذالك أن الله جل جلاله لامثل له في صفاته ولا في استواءه ولا في نزوله سبحانه وتعالى عما يقول الظالمون علوا كبيرا)محاسن التأويل 7/2704(قال الإمام أبو جعفر الطحاوي المولود سنة 227هـالمتوفى سنة 321هـ:-" تعالى )يعني الله( عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات ولا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات " ا.هـ.وقال:- " ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر" ا.هـ. فقد نقل الإمام أبو الفضل التميمي الحنبلي ي كتاب " اعتقاد الإمام أحمد " عن الإمام أحمد أنه قال : "والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش ، وكان ينكر- الإمام أحمد - على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلهامحدودة ". وبين الإمام الحافظ بن الجوزي الحنبلي في كتابه "دفع شبه التشبيه " براءة أهل السنة عامة والإمام أحمد خاصة من عقيدة المجسمة وقال: " كان أحمد لا يقول بالجهة للبارئ " ولقد كفر من الذين يقولون لله
بالتجسيم ". بل نقل صاحب الخصال من الحنابلة عن أحمد أنه قال
بتكفير من قال: " الله جسم لا كالأجسام ". عن أبو الفضل التميمي
عن الإمام أحمد ابن حنبل قال " مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك " دليل على نصاعة عقيدته وأنه على عقيدة التنـزيه-كذلك أول الإمام أحمد الآيات المتشابهات في الصفات فقد روى الحافظ البيهقي ، عن الحاكم، عن أبي عمرو بن السماك، عن حنبل، أن أحمد بن حنبل تأول قول الله تعالى:
}وَجَاءَ رَبُّكَ{ أنه: جاء ثوابه. ثم قال البيهقي: وهذا إسناد لا غبار عليه. و نقل ذلك ابن كثير في تاريخه. وفي رواية نقلها البيهقي في كتاب"مناقب أحمد " أن الإمام قال : " جاءت قدرته " أي أثر من ءاثار قدرته، ثم قال الحافظ البيهقي : " وفيه دليل على أنه كان لا يعتقد في المجيء الذي ورد به الكتاب والنـزول الذي وردت به السنة انتقالا من مكان إلى مكان كمجيء ذوات الأجسام ونزولها وإنما هو عبارة عن ظهور ءايات قدرته" وهكذا كل أقوال السلف
أنهم يمرون الصفات كما جاءت وينزهون الصفات لله من كل صفات
النقصان والسلف هم الأولون الذي قال لهم الله أولئك المقربون في جنات النعيم ونحن متبع لهم ولا نبتدع بعقيدة الفاسدة الباطلة كقول أن الله جالس في العرش و أيضا قول ان الله لم يزل مع العرش
وأنه مستقرا في العرش ويتخذ العرش مكانا له وهذه عقيدة باطلة فلابد لنا ان نجتنب من كل المعتقدات الفاسدة الباطله

kesimpulan, Aqidah Imam Malik, Imam AbuHanifah, Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.

PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA MUKTABAR

Salah seorang penulis Syarh Shahih al-Bukhari, as-Syekh ‘Ali ibn Khalaf al-Maliki yang dikenal dengan Ibn Baththal (w 449 H) menuliskan sebagai berikut:

غَرْضُ البُخَارِيّ فِي هذَا البَاب الرّدُّ عَلَى الْجَهْمِيّةِ الْمُجَسِّمَةِ فِي تَعَلُّقِهَا بِهذِه الظّوَاهِر، وَقَدْ تَقَرّرَ أنّ اللهَ لَيْسِ بِجِسْمٍ فَلاَ يَحْتَاجُ إلَى مَكَانٍ يَسْتَقِرّ فِيْهِ، فَقَدْ كَانَ وَلاَ مَكَان، إنّمَا أضَافَ المَعَارِجَ إلَيْه إضَافَةُ تَشْرِيفٍ، وَمَعْنَى الارْتفَاعِ إلَيْهِ اعْتِلاؤُه، أى تَعَالِيْهِ، مَعَ تَنْزِيْهِهِ عَنِ الْمَكَانِ.

“Tujuan al-Bukhari dalam membuat bab ini adalah untuk membantah kaum Jahmiyyah Mujassimah, di mana kaum tersebut adalah kaum yang hanya berpegang teguh kepada zhahir-zhahir nash. Padahal telah ditetapkan bahwa Allah bukan benda, Dia tidak membutuhkan kepada tempat dan arah. Dia Ada tanpa permulaan, tanpa arah dan tanpa tempat. Adapun penisbatan “al-Ma’arij” adalah penisbatan dalam makna pemuliaan (bukan dalam pengertian Allah di arah atas). Juga makna “al-Irtifa’” adalah dalam makna bahwa Allah maha suci, Dia maha suci dari tempat” (Fath al-Bari, j. 13, h. 416).

Wajah dan Telapak Tangan (Bag. luar dan dalam) bukan Aurat, dan Bahwa Mencari Berkah Dibolehkan



Terjemah:

5494. Telah berkata ayahku (Ahmad ibn Hanbal) kepadaku (Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal): Dari Yahya ibn Yaman dari Sufyan Dari Qais ibn Muslim dari Ibrahim, ia (Ibrahim) berkata: --Firman Allah: "Wa La Yubdina Zinatahunna Illa Ma Zhahara Minha" (kaum perempuan tidak boleh menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang tampak dari mereka), -yang dimaksud adalah-; telapak tangan dan wajah. (Artinya wajah dan telapak tangan, luar dan dalam; bukan aurat)

3243. Aku (Abdullah) telah bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal) tentang seorang yang mengusap mimbar Rasulullah dan bertujuan mencari berkah dengan jalan mengusapnya dan menciumnya, dan lalu melakukan hal yang sama terhadap makamnya, atau melakukan pekerjaan yang semacam itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah, ia (Ahmad ibn Hanbal) berkata: "NO PROBLEM / GA MASALAH / BOLEH".

Salah satu akar terorisme; karena salahpaham terhadap kandungan (QS. al-Ma'idah: 44)

Firman Allah yang dimaksud adalah:

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)

Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim "kafir" secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah "Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir", pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:

“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].

Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.

Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;

1. Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Islam.
2. Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].

Kemudian diriwayatkan bahwa sahabat Hudzifah ibn al-Yaman suatu ketika ditanya tentang ayat 44 ini; “Apakah yang dimaksud oleh ayat ini adalah Bani Isra’il?” sahabat Hudzaifah menjawab menjawab; “Benar, ayat itu tentang Bani Isra’il”. Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam. Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].

Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata: “Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam. Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:

سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)

(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.

“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)

Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh....”. Artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim kafir terhadap orang-orang yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia. pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??

Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18

Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma'idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.

Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan "akar terorisme" pada diri anda...!!! Hati-hati...!!!

Selasa, 31 Agustus 2010

Fatwa-Fatwa Ulama Besar Sekitar Maulid Nabi SAW

Berikut ini beberapa pendapat dan fatwa dari ulama kaum Muslimin yang kami kutip dari kitab-kitab ulama muktabar, namun masih banyak lagi yang belum sempat kami kutipkan ;

Pendapat Al-Imam Hasan Al-Bashriy Qaddasallahu Sirrah (wafat 116 H) yaitu generasi salafush shaleh dan ayah beliau adalah pelayan Sahabat Zaid bin Tsabit (penulis wahyu). Imam Hasan Al-Bashriy pernah berjumpa sekitar 100 sahabat Nabi. Menurut Qatadah, Imam Hasan paling tahu tengtang jala dan haram, pendapatnya seperti Sahabat Umar bin Khatththab radliyallahu ‘anh, menjadi rujukan dalam bertanya. Menurut Hisyam bin Hasan, Imam Hasan Al-Bashriy adalah paling pandai dimasanya dan menurut Abu Umar bin al-‘Ala’, orang yang sangat fashih. Beliau mengatakan tentang betapa istimewanya Maulid Nabi,
قال الحسن البصري، قدس الله سره: وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لانفقته على قراءة مولد الرسول

“Seandainya aku memiliki emas seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul”. [1]


Pendapat Al-Imam Ma’aruf Al-Kharkhiy Qaddasallahu Sirrah (wafat 200 H), beliau juga termasuk generasi salafush shaleh yang alim, zuhud dan terkenal dikalangan fukaha’ sebagai orangyang fakih. Beliau mengungkap peringatan Maulid Nabi yang terjadi dimasa beliau, keistimewaan serta balasan bagi orang yang memperingati Maulid Nabi,


قال معروف الكرخي قدس الله سره: من هيأ لاجل قراءة مولد الرسول طعاما، وجمع إخوانا، وأوقد سراجا، ولبس جديدا، وتعطر وتجمل تعظيما لمولده حشره الله تعالى يوم القيامة مع الفرقة الاولى من النبيين، وكان في أعلى عليين
“Al-Imam Ma’aruf Al-Kurkhiy Qaddasallahu sirrah, barangsiapa menyajikan makanan untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, mengumpulkan saudara-saudaranya, menghidupkan pelita dan memakai pakaian yang baru dan wangi-wangian dan menjadikannya untuk mengagungkan kelahirannya (Maulid Nabi), maka Allah akan membangkitkan pada hari qiyamat beserta golongan yang utama dari Nabi-Nabi , dan ditempatkan pada tempat (derajat) yang tinggi”. [2]


Pendapat Al-Imam Agung Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i Rahimahullah (wafat 204 H). Beliau menuturkan bahwa peringatan Maulid Nabi dilakukan dengan berjamaah dan disediakan makanan sebagai rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, serta beliau juga menuturkan keutamaan orang yang memperingatinya,


قال الشافعى رحمه الله من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين
“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) karena kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin”.[3]


Pendapat Al-‘Arif Billah Al-Imam As-Sirriy As-Saqathiy Qaddasallahu Sirrah (wafat 257 H). Termasuk generasi salafush shaleh yaitu generasi tabiut tabi’in, seorang yang sangat berpendirian teguh, wara, sangat alim dan ahli ilmu tauhid. Beliau mengungkapkan keutamaan memperingati Maulid Nabi karena kecintaan kepada Rasulullah dan kelak akan bersama dengan Rasulullah,


وقال السري السقطي: من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) فقد قصد روضة من رياض الجنة لانه ما قصد ذلك الموضع إلا لمحبة الرسول. وقد قال عليه السلام: من أحبني كان معي في الجنة
“Imam As-Sirry As-Saqathiy berkata, barangsiapa yang menyediakan tempat untuk dibacakan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم), maka sungguh dia menghendaki “Raudhah (taman)” dari taman-taman surga, karena sesungguhnya tiada dia menghendaki tempat itu melainkan karena cintanya kepada Rasul. Dan Sungguh Rasul (صلى الله عليه وسلم) bersabda : “barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku didalam surga”. [4]


Pendapat Al-Imam Junaid Al-Baghdadiy Rahimahullah (wafat 297 H), masih termasuk generasi shalafuh shaleh. Beliau menuturkan beruntungnya keimanan seseorang yang menghadiri Maulid Nabi,


قال الجنيدي البغدادي رحمه الله: من حضر مولد الرسول وعظم قدره فقد فاز بالايمان
“Imam Junaid al-Baghdadiy rahimahullah berkata, barangsiapa yang menghadiri Maulid ar-Rasul dan mengagungkannya (Rasulullah), maka dia beruntung dengan keimanannya” [5]


Pendapat Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah, beliau menuturkan tentang keutamaan Maulid Nabi sebagai berikut,


قال ابن الجوزي رحمه الله تعالى من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشرى عاجلة بنيل البغية والمرام
“Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah berkata, diantara keistimewaan Maulid Nabi adalah keadaan aman (pencegah mushibah) pada tahun itu, kabar gembira serta segala kebutuhan dan keinginan terpenuhi” [6]


Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermadzhab Syafi’i dan merupakan guru besar dariAl-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan,


قال الامام أبو شامة شيخ المصنف رحمه الله تعالى: ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل في كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده (صلى الله عليه وسلم): من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور، فإن ذلك مع ما فيه من الاحسان إلى الفقراء يشعر بمحبة النبي (صلى الله عليه وسلم) وتعظيمه وجلالته في قلب فاعل ذلك، وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذي أرسله رحمة للعالمين
“dan sebagus-bagusnya apa yang diada-adakan pada masa sekarang ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” [7]


Pendapat Al-Imam Al-Muhaddits Al-Hafidz Al-Musnid Al-Jami’ Abul Khair Syamsuddin Muhammad Ibnu Abdullah Al-Jazariy Asy-Syafi’i (wafat 660 H). Beliau adalah guru dari para Qurra’ (Ahli baca Al-Qur’an) dan Imam Qira’at pada zamannnya. Beliau memiliki karya Maulid yang masih berupa manuskrip (naskah tulisan tangan) yang berjudul “ ‘Arfut Ta’rif bi Al-Maulidi Asy-Syarif”. Beliau mengatakan bahwa orang yang memperingati Maulid Nabi sangat pantas untuk menampati surga yang penuh kenikmatan,


فإذا كان أبو لهب الكافر الذي نزل القرآن بذمه جوزي في النار بفرحه ليلة مولد النبي صلى اله عليه وسلم به فما حال المسلم الموحد من أمة النبي صلى الله عليه وسلم يسر بمولده ويبذل ما تصل إليه قدرته في محبته صلى الله عليه وسلم، لعمري إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله جنات النعيم
“maka jika Abu Lahab yang kafir yang diturunkan ayat al-Qur’an untuk mencelanya masih diberi ganjaran kebaikan didalam neraka karena bergembira pada malam Maulid Nabi, lantas bagaimana dengan seorang Muslim yang mentauhidkan Allah, yang merupakan umat dari Nabi (صلى اله عليه وسلم) yang senang dengan kelahiran Beliau dan menafkahkan apa yang dia mampu demi kecintaannya kepada Nabi (صلى اله عليه وسلم). Demi Allah, sesungguhnya yang pantas bagi mereka berupa balasan dari Allah yang Maha Pemurah adalah memasukkan mereka dengan keutamannya kedalam surga yang penuh kenikmatan”[8]


Pendapat Al-Imam Yafi'i Al-Yamaniy Rahimahullah (wafat 768 H) turut menuturkan keutamaan Maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam,


وقال الامام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي (ص) إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم
“Dan berkata Imam Al-Yafi’iy Al-Yamani : “Barangsiapa yang mengumulkan saudara-saudaranya untuk (merayakan) Maulid Nabi, menyajikan makanan, beramal yang baik dan menjadikannya untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, maka Allah akan membangkitkan pada hari Kiamat bersama para Shadiqin, Syuhada, Shalihin dan menempatkannya pada tempat yang tinggi” [9]


Pendapat Al-Hafidz Al-Imam Al-Muhaddits Syamsuddin bin Nashiruddin Ad-Damasyqiy (777 H - 842 H) yang telah mengarang kitab Maulid, diantaranya kitab Jami’ul Atsar fi Maulidin Nabiyyil Mukhtar (terdiri dari 3 jilid), Al-Lafdzur Roiq fi Maulidi Khayril Khalaiq (bentuknya ringkas), Mauridush Shadi fi Maulidil Had. Beliau mengatakan (dalam sebuah syair),


إذا كان هـذا كافرا جـاء ذمـه
وتبت يـداه في الجحـيم مخـلدا
أتى أنـه في يـوم الاثنين دائـما
يخفف عنه للسـرور بأحــمدا
فما الظن بالعبد الذي طول عمره
بأحمد مسرورا ومات موحـــدا
“Jika orang kafir yang telah datang (tertera) celaan baginya (yakni) “dan celakalah kedua tangannya didalam neraka Jahannam kekal didalamnya” ; “Telah tiba pada (setiap) hari senin untuk selamanya diringankan (siksa) darinya karena bergembira ke (kelahiran) Ahmad ; “lantas bagaimanakah dugaan kita terhadap seorang hamba yang sepanjang usia, karena (kelahiran) Ahmad, lantas ia selalu bergembira dan tauhid menyertai kematiannya ???”[10]


Fatwa Al-Imam Asy-Syeikhul Islam Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Ahmad Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (773 H - 852H), yang telah mensyarah kitab monumental Imam Bukhari (Shahih Bukhari), dan beliau beri nama dengan kitabnya tersebut dengan nama Fathul Bari ‘alaa Shahih Bukhari. Beliau memfatwakan bahwa amal Maulid termasuk ke dalam bid’ah Hasanah (perkara baru yang bagus) dan beliau juga mendapati dasar syara’ yang sangat terang mengenai peringatan Maulid Nabi,


أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة، وإلا فلا
“Asal amal Maulid adalah bid’ah, tidak pernah ada perkataan (perbincangan) dari salafush shaleh dari kurun ke tiga, dan akan tetapi bersamanya mencakup (mengandung) kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barangsiapa yang mengambil kebaikan-kebaikannya pada amal Maulid dan menjauhi keburukannya maka itulah bid’ah Hasanah (بدعة حسنة), dan jika tidak (menjauhi keburukannya) maka tidak (bukan bid’ah Hasanah)” [11]


Lebih lanjut lagi, beliau memfatwakan dasar yang sangat jelas tentang peringatan Maulid Nabi,


وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت، وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم؟ فقالوا: هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى، فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما مَنَّ به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة، ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة، والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة، وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم
“dan sungguh telah jelas bagiku bahwa apa yang dikeluarkan (diriwayatkan) atas asal penetapan (hokum Maulid), sebagaimana yang ditetapkan didalam Ash-Shahihayn bahwa sesungguhnya Nabi datang ke Madinah, maka (beliau) menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’, Rasulullah bertanya kepada mereka (tentang puasa tersebut)? Maka mereka menjawab : “Padanya adalah hari dimana Allah telah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan (Nabi) Musa, maka kami berpuasa untuk bersyukur kepada Allah Yang Maha Tinggi (atas semua itu)”. Maka faidah yang bisa diambil dari hal tersebut adalah bahwa (kebolehan) bersyukur kepada Allah atas sesuatu (yang terjadi) baik karena menerima sebuah kenikmatan yang besar atau penyelamatan (terhindar) dari bahaya, dan bisa diulang-ulang perkara (syukuran) tersebut pada hari (yang sama) setiap tahun. Adapun syukur kepada Allah dapat dilakukan dengan bermacam-macam Ibadah seperti sujud (sujud syukur), puasa, shadaqah dan tilawah (membaca al-Qur’an). dan sungguh adakah nikmat yang paling agung (besar) dari berbagai nikmat (yang ada) selain kelahiran Nabi (Muhammad) Nabi yang penyayang pada hari (peringatan Maulid) itu ?” [12]


Pendapat A-Imam Al-Hafidz Muhammad bin Abdurrahman Al-Qahiriy, dikenal dengan nama Al-Imam As-Sakhawiy (831 H – 902 H), beliau juga dikenal sebagai Ahli sejarah di Madinah, penulis kitab Adh-Dhaw’ul Lami’. Beliau juga telah menyusun sebuah karya Maulid yang diberi judul “Al-Fakhrul ‘Ulwi fil Mawlidin Nabawiy”


لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ
“Tidak pernah dikatakan (perbincangkan) dari salah seorang ulama Salafush Shaleh pada kurun ke tiga yang mulya dan sungguh itu baru ada setelahnya. Kemudian umat Islam diseluruh penjuru daerah dan kota-kota besar senantiasa memperingati Maulid Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ) dibulan kelahiran Beliu. Mereka mengadakan jamuan yang luar biasa dan diisi dengan perkara-perkara yang menggembirakan serta mulya, dan bershaqadah pada malam harinya dengan berbagai macam shadaqah, menampakkan kegembiraan, bertambahnya kebaikan bahkan diramaikan dengan pembacaan (buku-buku) Maulid Nabi yang mulya, dan menjadi teranglah (jelaslah) keberkahan dan keutamaan (Maulid Nabi) secara merata dan semua itu telah teruji.[13]


Selanjutnya,


ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ
“Kemudian (beliau) berkata : “aku katakan : adanya (tanggal) kelahiran Nabi Asy-Syarif yang paling shahih adalah pada malam Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Dikatakan (qoul yang lain) : pada malam tanggal 2, dikatakan juga pada tanggal 8, 10 dan lain sebagainya. Maka dari itu, tidak mengapa mengerjakan kebaikan pada setiap hari-hari ini dan malam-malamnya dengan persiapan (kemampuan) yang ada bahkan bagus dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan (Rabi’ul Awwal)”[14]


Fatwa Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy (849 H - 911 H), didalam kitabnya beliau menuturkan bahwa sangat jelas dasar syara’ mengenai peringatan Maulid Nabi,


وقد ظهر لي تخريجه على أصل آخر، وهو ما أخرجه البيهقي عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعد النبوة، مع أنه قد ورد أن جده عبد المطلب عق عنه في سابع ولادته،
والعقيقة لا تعاد مرة ثانية فيحمل ذلك على أن الذي فعله النبي صلى الله عليه وسلم إظهار للشكر على إيجاد الله إياه رحمة للعالمين، وتشريع لأمته كما كان يصلي على نفسه، لذلك فيستحب لنا أيضا إظهار الشكر بمولده بالاجتماع وإطعام الطعام ونحو ذلك من وجوه القربات وإظهار المسرات
“dan sungguh sangat jelas bagiku yang dikeluarkan (diriwayatkan) atas asal yang lain (dari pendapat Imam Ibnu Hajar) yaitu apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqiy dari Anas bahwa sesungguhnya Nabi (صلى الله عليه وسلم) mengaqiqahkan dirinya sendiri sesudah (masa) kenabian, (padahal) sesungguhnya telah dijelaskan (riwayat) bahwa kakek beliau Abdul Mutthalib telah mengaqiqahkan (untuk Nabi) pada hari ke tujuh kelahirannya. adapun aqiqah tidak ada perulangan dua kali, maka dari itu sungguh apa yang dilakukan oleh Nabi (صلى الله عليه وسلم) menerangkan tentang (rasa) syukur beliau karena Allah telah mewujudkan (menjadikan) beliau sebagai rahmat bagi semesta alam, dan sebagai landasan bagi umatnya. Oleh karena itu, maka juga boleh (mustahab/patut) bagi kita untuk menanamkan (menerangkan) rasa syukur kita dengan kelahirannya (Rasulullah) dengan mengumpulkan (kaum Muslimin), menyajikan makanan dan semacamnya dari (sebagai) perwujudan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) dan menunjukkan kegembiraan (karena kelahiran beliau)”. [15]


Fatwa beliau lainnya menyatakan bahwa orang yang memperingati Maulid Nabi akan mendapatkan pahala dan peringatan Maulid Nabi termasuk kedalam bid’ah hasanah. Beliau ditanya tentang Maulid Nabi,


فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول، ما حكمه من حيث الشرع؟ وهل هو محمود أو مذموم؟ وهل يثاب فاعله أو لا؟ الجـــــواب عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف وأول من أحدث فعل ذلك صاحب اربل الملك المظفر أبو سعيد كوكبرى بن زين الدين علي بن بكتكين أحد الملوك الأمجاد والكبراء الأجواد، وكان له آثار حسنة، وهو الذي عمر الجامع المظفري بسفح قاسيون
“Sungguh telah ada pertanyaaan tentang peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul awwal, tentang bagaimana hukumnya menurut syara’ dan apakah termasuk kebaikan atau keburukan serta apakah orang yang memperingatinya mendapatkan pahala ?” Jawabannya, menurutku pada dasarnya amal Maulid itu adalah berkumpulnya manusai, membaca apa yang dirasa mudah dari Al-Qur’an, riwayat hadits-hadits tentang permualaan perintah Nabi serta tanda-tanda yang datang mengiringi kelahiran Nabi kemudian disajikan beberapa hidangan bagi mereka selanjutnya mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu termasuk kedalam Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang merayakannya. Karena perkara didalamnya adalah bagian dari pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan merupakan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran yang Mulya (Nabi Muhammad, dan yang pertama mengadakan hal semacam itu (perayaan besar) adalah penguasa Irbil, Raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kaukabri bin Zainuddin Ali Ibnu Buktukin, salah seorang raja yang mulya, agung dan demawan. Beliau memiliki peninggal yang hasanah/baik (آثار حسنة), dan beliau lah yang membangun al-Jami’ al-Mudhaffariy dilembah Qasiyun”. [16]


Al-Imam As-Suyuthiy juga memfatwakan ketika ada syubhat yang menyatakan bahwa memperingati wafatnya Nabi itu lebih pantas daripada memperingati Maulid Nabi, dalam hal ini beliau membantahnya sebagai berikut,


إن ولادته صلى الله عليه وسلم أعظم النعم علينا، ووفاته أعظم المصائب لنا، والشريعة حثت على إظهار شكر النعم، والصبر والسلوان والكتم عند المصائب، وقد أمر الشرع بالعقيقة عند الولادة، وهي إظهار شكر وفرح بالمولود، ولم يأمر عند الموت بذبح ولا غيره، بل نهى عن النياحة وإظهار الجزع، فدلت قواعد الشريعة على أنه يحسن في هذا الشهر إظهار الفرح بولادته صلى الله عليه وسلم دون إظهار الحزن فيه بوفاته
“Sesungguhnya kelahiran Nabi (صلى الله عليه وسلم) adalah paling agungnya kenikmatan bagi kita semua, dan wafatnya Beliau (صلى الله عليه وسلم) adalah musibah yang paling besar bagi kita semua. Adapun syariat menganjurkan (menampakkan) untuk mengungkapkan rasa syukur dan kenikmatan. Dan bersabar serta tenang ketika tertimpa mushibah. Dan sungguh syari’at memerintahkan untuk (menyembelih) beraqiqah ketika (seorang anak) lahir, dan supaya menampakkan rasa syukur dan bergembira dengan kelahirannya, dan tidak memerintahkan untuk menyembelih sesuatu atau melakukan hal yang lain ketika kematiannya, bahkan syariat melarang meratap (an-niyahah) dan menampakkan keluh kesah (kesedihan). Maka (dari sini) jelas bahwa kaidah-kaidah syariat menunjukkan yang baik baik (yang paling layak) pada bulan ini (bulan Maulid) adalah menampakkan rasa gembira atas kelahirannya (Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم) dan bukan (malah) menampakkan kesedihan (mengungkapkan) kesedihan atas wafatnya Beliau" [17]


Bantahan beliau, sebagaimana juga pernyataan Al-Imam Ibnu Rajab,


وقد قال ابن رجب في كتاب اللطائف في ذم الرافضة حيث اتخذوا يوم عاشوراء مأتما لأجل قتل الحسين: لم يأمر الله ولا رسوله باتخاذ أيام مصائب الأنبياء وموتهم مأتما فكيف ممن هو دونهم
“dan sungguh telah berkata Ibnu Rajab di dalam kitab “al-Lathif” (اللطائف) tentang celaan terhadap ‘Ar-Rafidlah’ bahwa mereka telah menjadikan hari Asyura sebagai hari berkabung (bersedih) karena bertepatan dengan hari (pembunuhan) wafatnya sayyidina Husain : Sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari-hari mushibah dan kematian para Nabi sebagai hari bersedih, maka bagaimana dengan orang derajatnya berada dibawah mereka ?” [18]


Lebih jauh lagi, Al-Imam As-Suyuthiy menjelaskan keutamaan tempat dan orang yang memperingati Maulid Nabi,


قال سلطان العارفين جلال الدين السيوطي في كتابه الوسائل في شرح الشمائل: ما من بيت أو مسجد أو محلة قرئ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) هلا حفت الملائكة بأهل ذلك المكان وعمهم الله بالرحمة والمطوقون بالنور - يعني جبريل وميكائل وإسرافيل وقربائيل وعينائيل والصافون والحافون والكروبيون - فإنهم يصلون على ما كان سببا لقراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم
“Berkata Shulthan Al-‘Arifin Jalaluddin As-Suyuthiy didalam kitabnya “al-Wasail fiy Syarhi Asy-Syamil” : "tiada sebuah rumah atau masjid atau tempat pun yang dibacakan didalamnya Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) melainkan dipenuhi Malaikat yang meramaikan penghuni tempat itu (menyelubunyi tempat itu) dan Allah merantai Malaikat itu dengan rahmat dan Malaikat bercahaya (menerangi) itu antara lain Malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Qarbail, 'Aynail, ash-Shaafun, al-Haafun dan al-Karubiyyun. Maka sesungguhnya mereka (malaikat) itulah yang mendo’akannya karena membaca Maulid Nabi" [19]


Lanjut lagi,


قال: وما من مسلم قرئ في بيته مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) إلا رفع الله تعالى القحط والوباء والحرق. والآفات والبليات والنكبات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص عن أهل ذلك البيت، فإذا مات هون الله تعالى عليه جواب منكر ونكير، وكان في مقعد صدق عند مليك مقتدر
“tiada seorang Muslim pun yang didalam rumahnya dilakukan pembacaan Maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kecuali Allah akan mengangkat wabah kemarau, kebakaran, karam, kebinasaan, kecelakaan, kebencian, hasad dan pendengaran yang jahat, (terhindar) dari pencuri ahli-ahli rumah tersebut. Maka jika apabila mati, Allah akan memudahkan baginya dalam menjawab (pertanyaan) Malaikat Munkar dan Nakir. Dan mereka akan ditempatkan didalam tempat yang benar pada sisi-sisi raja yang berkuasa” [20]


Pendapat Al-Imam Ibnu Al-Hajj Al-Maliki Rahimahullah (ulama madzhab Malikiyyah),


قال ابن الحاج رحمه الله تعالى فكان يجب أن نزداد يوم الاثنين الثاني عشر من ربيع الأول من العبادات والخير شكرا للمولى على ما أولانا من هذه النعم العظيمة وأعظمها ميلاد المصطفى صلى الله عليه وسلم
“Menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada Allah setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia (Allah) telah mengaruniakan kepada kita nikmat yang sangat besar dengan lahirnya Al-Musthafa Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam” [21]

وقال أيضا: ومن تعظيمه صلى الله عليه وآله وسلم الفرح بليلة ولادته وقراءة المولد
“berkata lagi, dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah gembira pada malam kelahirannya dan melakukan pembacaan Maulid Nabi” [22]


Pendapat seorang Imam yang besar, tokoh yang sangat terkenal, penjaga Islam, tumpuan banyak orang, tempat rujukan para Ahli hadits yang sangat terkenal, Al-Hafidz Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman Al-Mishriy yang terkenal dengan Al-Hafidz Al-Iraqiy (wafat 808 H). Beliau memiliki kitab Maulid yang dinamakan dengan “Al-Mawridul Haniy fiy Mawlidis Saniy”,


إن اتخاذ الوليمة وإطعام الطعام مستحب في كل وقت، فكيف إذا انضم إلى ذلك الفرح والسرور بظهور نور النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الشهر الشريف، ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها، فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجب
“Sungguh melakukan perayaan (walimah) dan memberikan makan disunnahkan pada setiap waktu, apalagi jika padanya disertai dengan kesenangan dan kegembiraan dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada bulan yang mulya ini, dan tidaklah setiap bid’ah itu makruh (dibenci), betapa banyak bid’ah yang disunnahkan bahkan diwajibkan” [23]


Pendapat Al-Imam Ibnu ‘Abidin didaam kitab syarahnya atas kitab Maulid Imam Ibnu Hajar,


قال ابن عابدين في شرحه على مولد ابن حجر اعلم أن من البدع المحمودة عمل المولد الشريف من الشهر الذي ولد فيه صلى الله عليه وسلم، وقال أيضاً: فالاجتماع استماع قصة صاحب المعجزات عليه أفضل الصلوات وأكمل التحيات من أعظم القربات لما يشتمل عليه من المعجزات وكثرة الصلوات
“Ketahuilah olehmu bahwa sebagian dari perkara baru yang terpuji (bid’ah mahmudah) adalah amal Maulid Nabi Asy-Syarif pada bulan yang mana Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam di lahirkan didalamnya”,,,[24]


Pendapat Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluf (Syeikhul Azhar) Rahimahullah,


وقال الشيخ حسنين محمد مخلوف شيخ الأزهر رحمه الله تعالى إن من إحياء ليلة المولد الشريف، وليالي هذا الشهر الكريم الذي أشرق فيه النور المحمدي إنما يكون بذكر الله وشكره لما أنعم به على هذه الأمة من ظهور خير الخلق إلى عالم الوجود، ولا يكون ذلك إلا في أدب وخشوع وبعد عن المحرمات والبدع والمنكرات، ومن مظاهر الشكر على حبه مواساة المحتاجين بما يخفف ضائقتهم وصلة الأرحام، والإحياء بهذه الطريقة وإن لم يكن مأثور في عهده صلى الله عليه وسلم ولا في عهد السلف الصالح إلا أنه لا بأس به وسنة حسنة
“Sunggung barangsiapa menghidupkan malam Maulid Nabi Asy-Syarif dan malam-malam-malam bulan yang mulya ini yang menerangi didalamnya dengan cahaya Muhammadiy yaitu dengan berdzikir kepada Allah, bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada umat ini termasuk dilahirkannya makhluk terbaik (Nabi Muhammad) ke ala mini, dan tidak ada yang demikian itu kecuali dengan sebuah akhlak dan kekhusuan serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, amalan bid’ah serta kemungkaran-kemungkaran. Dan termasuk menampakkan kesyukuran sebagai bentuk kecintaan yaitu menyantuni orang-orang tidak mampu, menjalin shilaturahim dan menghidupkan dengan cara ini walaupun tidak ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan tidak pula ada dimasa salafush shaleh adalah tidak apa-apa serta termasuk sunnah hasanah” [25]


Pendapat Asy-Syekh Muhammad Mutawalla Asy-Sya’rawiy Rahimahullah,


قال الشيخ محمد متولي الشعراوي رحمه الله تعالى وإكراماً لهذه المولد الكريم، فإنه يحق لنا أن نظهر معالم الفرح و الابتهاج بهذه الذكرى الحبيبة لقلوبنا كل عام، وذلك بالاحتفال بها من وقتها
“Melakukan penghormatan untuk Maulid yang mulya ini, maka sesungguhnya itu hak bagi kita untuk menampakkan kegembiraan dan ..[26]


Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah,


قد قال ابن حجر الهيثمي رحمه الله تعالى والحاصل أن البدعة الحسنة متفق على ندبها، وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك، أي بدعة حسنة
“walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selarasa dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah” [27]


Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah,


فرحم الله امرءا اتخذ ليالي شهر مولده المبارك أعيادا، ليكون أشد علة على من في قلبه مرض وإعياء داء
“maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…”[28]

الإمام القسطلاني ت 922 هـ من جواز الاحتفال بالمولد النبوي بما هو مشروع لا منكر فيه، واستشف هذا الجواز من حديث البخاري في باب الجنائز من كون أبى بكر الصديق تمنى الموت في هذا اليوم لكونه اليوم الذي ولد فيه الرسول صلى الله عليه وسلم و فيه توفي
“sebagain dari kebolehan merayakan Maulid Nabi Nabawi dengan perkara yang masyru’ (disyariatkan) bukan dengan kemungkaran, [29]


Pendapat Al-Imam Al-Alusiy dalam kitab tafsirnya,


ما استنبطه الألوسى من تفسير قول الله تعالى "قل بفضل الله و رحمته فبذلك فليفرحوا" الآية 58 يونس. فالرسول صلى الله عليه وسلم رحمة كما قال عز و جل "وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين" الآية 107 الأنبياء. و كما جاء في الحديث: "إنما أنا رحمة مهداة" رواه الحاكم في مستدركه عن أبى هريرة. فوجب من هنا الاحتفال و الفرح بهذه الرحمة
“Firman Allah, “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira” (Yunus : 58), dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah rahmat sebagaimana yang di firmankan Allah ‘azza wa jallah, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”, sebagaiman juga didalam hadits, “sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan Allah” (riwayat Imam Hakim dalam ktab Mustadraknya dari Abu Hurairah), maka wajib bagi sebagian dari kita untuk merayakannya dan bergembira dengan rahmat ini” [30]


Pendapat Al-‘Allamah Asy-Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mantan Mufti Madzhab Syafi’iyyah di Mekkah,


العادة أن الناس إذا سمعوا ذكرى وضعه صلى الله عليه وسلم يقومون تعظيما له صلى الله عليه وسلم و هذا قيام مستحب لما فيه من تعظيم النبي صلى الله عليه وسلم، و قد فعل ذلك كثير من علماء الأمة الذين نقتدي بهم
“Kebiasaan manusia ketika disebut tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berdiri untuk menghormati beliau dan berdiri ini disunnahkan untuk menghormati Nabi, dan sungguh telah banyak ulama kaum Muslimin yang melakukan seperti yang demikian”’ [31]


Pendapat Al-'Allamah As-Syekh As-Sayyid Muhammad Ibnu Alwi Al-Maliki Al-Hasaniy Rahimahullah,


إننا نرى أن الاحتفال بالمولد النبوي الشريف ليست له كيفية مخصوصة لابد من الالتزام أو إلزام الناس بها ، بل إن كل ما يدعو إلى الخير ويجمع الناس على الهدى و يرشدهم إلى ما فيه منفعتهم في دينهم ودنياهم يحصل به تحقيق المقصود من المولد النبوي ولذلك فلو اجتمعنا على شئ من المدائح التي فيها ذكر الحبيب صلّىالله عليه وسلّم وفضله وجهاده وخصائصه ولم نقرأ القصة التي تعارف الناس على قراءتها واصطلحوا عليها حتى ظن البعض أن المولد النبوي لا يتم إلا بها ، ثم استمعنا إلى ما يلقيه المتحدثون من مواعظ وإرشادات وإلى ما يتلوه القارئ من آيات
“Kami memandang sesungguhnya memperingati Maulid Nabi yang mulya itu tidak mempunyai bentuk-bentuk yang khusus yang mana semua orang harus dan diharuskan untuk melaksanakannya. Akan tetapi segala sesuatu yang dilakukan, yang dapat menyeru dan mengajak manusia kepada kebaikan dan mengumpulkan manusia atas petunjuk (agama) serta menunjuki mereka kepada hal-hal yang membawa manfaat bagi mereka, untuk dunia dan akhirat maka hal itu dapat digunakan untuk memperingati Maulid Nabi, Oleh karena itu andaikata kita berkumpul dalam suatu majelis yang disitu dibacakan puji-pujian yang menyanjung Al-Habib (Sang Kekasih yakni Nabi Muhammad), keutamaan beliau, jihad (perjuangan) beliau, dan kekhususan-kekhususan yang berada pada beliau ; lalu kita tidak membaca kisah Maulid Nabi – yang telah dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat dan mereka menyebutnya dengan istilah “Maulid” (seperti Maulid Diba’, Barzanji, Syaraful Anam, Al-Habsyi, dan lain sebagainya), yang nama sebagian orang menyangka bahwa peringatan Maulid Nabi itu tidak lengkap tanpa pembacaan kisah-kisah Maulid tersebut- kemudian kita mendengarkan mau’idzah-mau’idzoh (peringatan-peringatan), pengarahan-pengarahan, nasehat-nasehat yang disampaikan oleh para ulama dan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan oleh seorang Qari" [32]

Lebih lanjut,

أقول : لو فعلنا ذلك فإن ذلك داخل تحت المولد النبوي الشريف ويتحقق به معنى الاحتفال بالمولد النبوي الشريف ، وأظن أن هذا المعنى لا يختلف عليه اثنان ولا ينتطح فيه عنـزان
"andaikan kita melakukan itu semua maka itu sama halnya dengan kita membaca kisah Maulid Nabi yang Mulya tersebut dan itu termasuk dalam makna memperingati Maulid Nabi yang Mulya. Dan saya yakin bahwa peringatan yang saya maksudkan ini tidak menimbulkan perbedaan serta adu domba antara dua kelompok"[33]


Pendapat Al-'Allamah Asy-Syaikh Ali Jumu'ah (Mufti Mesir), [34]


Sesungguhnya maulid (kelahiran) Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia merupakan limpahan rahmat Ilahi yang dihamparkan bagi sejarah manusia seluruhnya. Dan Al Qur’an Al-Karim mengungkapkan keberadaan Nabi صلّى الله عليه و سلّم sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Rahmat ini tidak terbatas, ia meresap masuk ke dalam pendidikan, pengajaran, dan pensucian jiwa manusia. Rahmat tersebut jugalah yang menunjukan manusia ke jalan kemajuan yang lurus dal lingkup kehidupan mereka, baik secara materi maupun maknawi.

Rahmat tersebut juga tidak terbatas untuk orang-orang di jaman itu saja, tetapi membentang luas sepanjang sejarah manusia seluruhnya. Allah سبحانه وتعالىberfirman,

Al-Jumu'ah (62) No. Ayat : 3

وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan salah satu amal yang paling utama dan sebuah cara pendekatan diri kepada Tuhan. Kerena keseluruhan peringatan tersebut merupakan ungkapan kebahagiaan dan kecintaan kepada beliau صلّى الله عليه و سلّم . Dan cinta kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip iman. Sebuah hadits shahih dari Nabi صلّى الله عليه و سلّم bahwa beliau bersabda:

والذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتّى يحبّ إليه من والده وولده

”Demi dzat yang diriku berada di dalam genggaman-Nya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tua dan anaknya” 1

Di dalam hadits lain, beliau bersabda:

لا يؤمن أحدكم حتّى أكون أحبّ إليه من والده وولده والناس أجمعين

“Tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tua, anaknya dan manusia seluruhnya” 2

Ibnu Rajab berkata, “Cinta kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم termasuk prinsip-prinsip dasar Iman. Cinta ini seiring dengan cinta kepada Allah سبحانه وتعالى yang menyandingkan keduanya dan mengancam siapa saja yang lebih mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara lain yang sudah menjadi tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan tanah air atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah سبحانه وتعالىberfirman,

At-Taubah (9) No. Ayat : : 24

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Ketika Umar رضي الله عنه berkata kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم ,”Engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Beliau صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Tidak Umar, sampai aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri.” Umar رضي الله عنه berkata, ”Demi Allah, Engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Beliau صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Sekarang, wahai Umar.” 3

Merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم pada dasarnya adalah sambutan penghormatan terhadap beliau. Sambutan dan penghirmatan terhadap beliau صلّى الله عليه و سلّم merupakan perkara yang diisyaratkan secara pasti (Qath’i), karena termasuk prinsip utama dari segala prinsip dasar.

Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى mengetahui keistimewaan Nabi-Nya dan Allah سبحانه وتعالى memperkenalkan namanya, kebangkitan, kedudukan, dan martabatnya sebagai rahmat kepada alam semesta seluruhnya. Maka alam semesta dan segala isinya ini senantiasa bergembira dan bersuka cita terhadap beliau صلّى الله عليه و سلّم yang merupakan cahaya Allah, anugerah-Nya, nikmat dan hujjah-Nya pada semesta.

Telah menjadi kebiasaan dan tradisi di kalangan salafus saleh sejak abad ke-4 dan ke-5 merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang agung. Mereka menghidupkan malam maulid dengan berbagai macam ketaatan dan ibadah kepada Allah seperti memberi makan fakir miskin, membaca Al Qur’an, membaca dzikir-dzikir, melantunkan puisi-puisi dan pujian-pujian tentang Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم Hal ini ditegaskan oleh sebilangan ulama seumpama Al-Hafizh Ibnu Jauzi, Al-Hafizh Ibnu Kautsir, Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-Andalusi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Sang Penutup Huffadz (para penghapal hadits dalam jumlah yang sangat banyak) Jalaluddin Al-Suyuthi, semoga Allah سبحانه وتعالى melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka.

Banyak ulama dan fuqaha yang telah menulis buku-buku tentang anjuran merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia. Mereka menjelaskan dalil-dalil yang shahih tentang sunnahnya kegiatan ini. Semua itu tidak menyisakan ruang bagi orang yang memiliki akal, pemahaman, dan pikiran yang sempurna untuk mengingkari apa yang ditempuh dan dilakukan oleh kalangan salafus saleh berupa perayaan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم

Dalam kitab Al-Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini dan beliau mengemukakan uraian penuh manfaat yang membuat lapang hati orang-orang yang beriman.

Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.

Sang penutup para Hafizh, Jalaluddin As-Syuyuthi, di dalam bukunya ”Husnul Maqshid fi Amalil Maulid” memberikan penjelasan tentang maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم dalam rangka menjawab pertanyaan yang diajukan kepada tentang kegiatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم pada bulan Rabi’ul awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah? Apakah kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapatkan pahala? Beliau berkata, ”Jawabannya, menurutku, bahwa hukum dasar kegiatan maulid (yang berupa berkumpulnya orang-orang yang banyak; membaca Al Qur’an; menyapaikan khabar-khabar yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi صلّى الله عليه و سلّم dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran beliau; kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama; lalu mereka beranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain) adalah termasuk bid’aah hasanah (bid’ah yang baik) dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi صلّى الله عليه و سلّم serta menunjukan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.”

Imam Syuyuthi membantah orang yang berkata, ”Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini dalam Al Qur’an maupun dalam Sunnah,” dengan mengatakan, ”Ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak lalu berarti tidak adanya sesuatu itu”. Beliau juga menjelaskan bahwa para Imam Hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar رحمه الله تعالى عنه telah menjelaskan dasar hukumya dari Sunnah. Imam Syuyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syari’at. Adapun jika ada hubungannya yang kuat dengan dalil syari’at yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.

Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i رضي الله عنه bahwa beliau berkata, ”Perkara-perkara baru itu ada dua macam, yaitu pertama, perkara baru yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, atsar, atau ijma’. Maka ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara-perkara baru yang tidak tercela. Umar bin Khaththab Ra berkata tentang pelaksanaan shalat tarawih pada bulan Ramadlan,

نعم البدعة هذه

”Alangkah baiknya bid’ah ini”

Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara yang dahulu (terjadi di jaman Nabi صلّى الله عليه و سلّم)”. Demikianlah akhir kutipan dari Imam Syafi’i.

Imam Syuyuthi berkata, ”Kegiatan merayakan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, atsar, maupun ijma’. Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa awal-awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh Sultannya para ulama, Izzuddin bin Abdissalam.”

Dan hukum dasar berkumpul untuk menyemarakkan syiar maulid adalah sunnah dan qurbah (ibadah, mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى). Sebab kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan nikamt terbesar untuk kita, dan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan syukur atas nikmat yang kita peroleh.

Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal. Beliau berkata, ”karena pada bulan ini Allah سبحانه وتعالى menganugerahkan kepada manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka wajib ditingkankan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan dan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita.”

Dasar hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar tentang kegiatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم adalah hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi صلّى الله عليه و سلّم tiba ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyu Ra, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka. Mereka pun menjawab, :”Ini adalah hari yang Fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa padanya sebagai ungkapan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى .”

Ibnu Hajar berkata, ”Jadi, diambil faidah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu melaksanakan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى atas anugerah yang Dia berikan pada hari tertentu, pemberian nikmat atau pencegahan dari bencana. Dan. Kegiatan itu diulang pada hari yang sama setiap tahun. Kegiatan syukur itu tercapai dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud (shalat), puasa, sedekah, dan membaca Al Qir’an. Dan, nikmat manakah yang lebh besar daripada nikmat munculnya Nabi صلّى الله عليه و سلّم ini, Nabi rahmat, pada hari itu?”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bentuk-bentuk kegiatan di dalam perayaan tersebut dan berkata, ”Maka semestinya kita batasi bentuk-bentuk kegiatan itu pada hal-hal yang dipahami sebagai ungkapan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى seperti yang telah disebutkan: membaca Al Qur’an, memberi makan, melantunkan puisi-puisi pujian bagi Nabi صلّى الله عليه و سلّم dan puisi-puisi zuhud yang menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan amal akhirat. Perkara-perkara mubah yang mengandung nilai suka cita dan kegembiraan terhadap hari kelahiran itu tidak mengapa untuk disertakan dengannya.”

Imam Syuthi mengutip penjelasan Imam tokoh-tokoh qira’at, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi dari kitabnya ”Urf Al-Ta’rif bi Al-Maulid Al-Syarif”, ”Jelas disebutkan dalam hadis shahih bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan dari siksa neraka pada setiap malam senin karena memerdekakan Tsuwaibah setelah mendengarkan berita gembira kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang disampaikannya. Jika Abu Lahab yang kafir dan dicela dengan nyata di dalam Al Qur’an mendapatkan keringanan di dalam neraka karena suka cita dan kegembiraannya pada malam kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم maka bagaimana lagi dengan seorang muslim dan bertauhid dari umat Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang bergembira dengan kelahiran beliau dan berusaha sekuat tenaga yang ia mampu untuk mencintainya? Oh, sungguh balasannya dari Allah سبحانه وتعالى adalah Dia memasukannya kedalam surga yang penuh dengan karunia-Nya.”

Al-Hafizh Syamsuddin Ad-Dimasyqi di dalam kitabnya yang berjudul ”Mawrid Al-Shadi fi Maulid Al-Hadi” melantunkan beberapa bait syair:

Apabila orang ini kafir, baginya celaan nyata,

Dan binasa kedua tangannya, abadi di dalam neraka jahim

Telah shahih bahwa diringankan baginya senantiasa setiap hari Senin karena suka cita dengan Ahmad (Nabi صلّى الله عليه و سلّم)

Maka bagaimana kiranya dengan hamba

Yang sepanjang usianya bergembira terhadap Ahmad (Nabi صلّى الله عليه و سلّم) dan mati dalam keadaan bertauhid?! 4

Selain dasar-dasar hukum dan argumentasi yang disebutkan, bisa juga berdalil dengan umumnya firman Allah سبحانه وتعالى ,

Ibrahim (14) No. Ayat : : 5

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang DAN INGATKANLAH MEREKA KEPADA HARI-HARI ALLAH ". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.

Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingattinya berarti melaksanakan perintah Allah. Perkara yang demikian bukanlah bid’ah, tetapi merupakan ”sunnah hasanah” (tradisi baik), sekalipun tidak pernah ada pada masa Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم .

Kita merayalkan kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم keran kita mencintai beliau. Dan bagaimana tidak mencintai beliau, sedangkan seluruh alam semesta mengenal dan mencintainya. Ingatlah hadits tentang sebatang kurma, betapa ia menyayangi dan menyayangi Nabi صلّى الله عليه و سلّم serta rindu untuk selalu dekat dengan Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia, bahkan menangis sejadi-jadinya karena rindu kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم .

Hadits yang menceritakan kejadian ini mutawatir sehingg informasi yang terkandung didalamnya bersifat pasti.

Diriwayatkan dari sebagain besar sahabat Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم bahwa Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkhutbah dengan berdiri dan mengandalkan posisi pada sebatang pohon kurma yang berdiri tegak. Apabila berdiri lama, beliau meletakkan tangan beliau yang mulia di batang kurma tersebut.

Setelah orang-orang yang shalat semakin banyak, para sahabat membuatkan mimbar untuk beliau. Suatu kali pada hari Jum’at, ketika Nabi صلّى الله عليه و سلّم keluar dari kamar yang mulia langsung menuju mimbar dan melewati batang kurma yang biasanya Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkhutbah disisinya, tiba-tiba saja batang kurma itu mengeluarkan suara yang keras dan merintih dengan rintihan rindu yang mengharukan sehingga seluruh masjid bergetar dan batang pohon itu ’terkoyak-koyak’,

Batang pohon itu tidak menjadi tenang sampai Nabi صلّى الله عليه و سلّم turun dari mimbar dan mendatangi batang itu. Lalu beliau meletakkan tangan beliau yang mulia padanya dan mengusapnya. Kemudian beliau merengkuhnya ke dada beliau sehingga batang pohon itu pun diam. Kemudian Nabi صلّى الله عليه و سلّم mengajukan pilihan kepadanya mana yang lebih menggembirakan baginya, menjadi pohon di surga dan akar-akarnya menyerap makanan dari sungai-sungai surga, atau kembali menjadi pohon yang berbuah di dunia. Batang pohon itu memilih untuk menjadi pohon di surga. Lalu Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Aku lakukan, Insya Allah. Aku lakukan, Insya Allah. Aku lakukan, Insya Allah.”

Batang pohon itu pun semakin tenang. Kemudian Nabi صلّى الله عليه و سلّم bersabda, ”Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggaman-Nya, seandainya aku tidak berjanji kepadanya, niscaya ia akan merintih sampai hari kiamat karena rindu kepada Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم .”5

Dari pendapat-pendapat para Imam seperti Ibnu Hajar, Ibnu Jauzi, Imam Syuyuthi, dan lain-lain, telah jelas bahwa itulah sikap uamt sejak abad ke-5 H. Kami berpendapat bahwa perayaan Maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia itu sunnah dan dianjurkan, sesuai dengan sikap umat dan para ulama. Perayaan tersebut harus dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan seperti membaca Al Qur’an, dzikir, dan memberi makan; tidak diselingi dan disertai dengan hal-hal yang tercela seperti tari-tarian dan lain-lain.

Kami tidak setuju dengan pendapat sebagian orang yang diaanggap ganjil dan keluar dari ijma’ amali (konsensus praktis) umat ini. Dan tidak seiring dengan pendapat umum para imam dan ulama besar umat. Perayaan seperti itu belumlah cukup untuk mengungkapkan kesyukuran dan tidaklah berlebihan terhadap Nabi صلّى الله عليه و سلّم , sang rahmat yang dianugerahkan dan kekasih Tuhan semesta alam.

Pada bagian akhir, saya ingin mngutipkan bait-bait puisi pengarang Burdah (Imam al-Bushiri):


Dialah yang telah sempurna makna dan bentuknya
Kemudian dipilih menjadi kekasih oleh pencipta makhluk
Tidak ada bandingan dalam kebaikan-kebaikannya
Maka, inti kebaikan padanya tidak terbagi-bagi
Tinggalkanlah bagaimana klaim Nasrani tentang nabi meraka,
Dan simpulkan pujian baginya, sekehendakmu
Sematkan kemuliaan pada dirinya, sekehendakmu
Sematkan keagungan pada kedudukannya, sekehendakmu
Sesungguhnya tanpa batas keutamaan Rasulullah,
Sehingga dapat diungkapkan oleh penutur dengan lidah


Dan Allah سبحانه وتعالى Yang Mahatinggi lebih Mengetahui.



Demikianlah yang bisa kami sebutkan mengenai fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat ulama-ulama besar nan agung Kaum Muslimin, masih banyak fatwa ulama lainnya yang dituturkan dalam kitab mereka seperti fatwa al-‘arif billah Abu Abdullah Muhammad bin Ibad, Asy-Syekh DR. Asy-Syarbasiy, Al-Imam Taqiyuddin As-Subki, Asy-Syekh Rasyid Ridla, Al-Imam Al-Wansyarsiy termasuk juga Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah * dan lain sebagainya. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari tipudaya para penipu yang senantiasa mengincar umat Islam untuk dijauhkan dari ulama yang benar-benar mumpuni, yang lebih paham akan agama ini. Amin..!!!

والله سبحانه وتعالى أعلم
Abdurrohim ats-Tsauriy

Catatan Kaki ;

1. Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
2. Ibid, hal. 415.
3. Kitab Madarijus Su’uud hal. 16, karangan ...Al-‘Allamah Asy-Syekh An-Nawawiy Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz)
4. Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
5. Ibid, hal. 415.
6. Ibid, hal. 416 ; kitab As-Sirah Al-Halabiyah (1/83-84) karangan Al-Imam ‘Ali bin Burnahuddin Al-Halabiy.
7. Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
8. Ibid, hal. 415 ; kitab Anwarul Muhammadiyah hal.20, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Yusuf An-Nabhaniy. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.
9. Ibid, hal. 415.
10. Kitab Husnul Maqshid fi Amal Maulid, karangan Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Tercantum dalam kitab Al-Ajwibah al-Mardliyyah ; Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon ; kitab As-Sirah Al-Halabiyah (1/83-84) karangan Al-Imam ‘Ali bin Burnahuddin Al-Halabiy
14. Ibid.
15. Kitab Husnul Maqshid fi Amal Maulid, karangan Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy.
16. Ibid ; kitab Al-Hawi Al-Fatawi hal. 189, karangan Al-Imam As-Suyuthiy ; kitab I’anatut Thalibin Juz 3 Hal. 415 , karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon ; Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج في شرح المنهاج) pada fasal (فَصْلٌ فِي وَلِيمَةِ الْعُرْسِ) karangan Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy.
17. Kitab Husnul Maqshid fi Amal Maulid, karangan Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy.
18. Ibid.
19. Kitab I’anatut Thalibin Juz 3 Hal. 415 , karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
20. Ibid. ; Kitab Al-Wasail fiy Syarh Al-Masaail lis-Suyuthiy
21. Kitab Al-Madhkal, karangan Al-Imam Ibnu Al-Hajj jilid.1 hal. 261
22. Ibid.
23. Kitab Ad-Durar As-Saniyyah (الدرر السنية) hal. 190.
24. Kitab Syarah ‘Alaa Maulid Al-Imam Ibnu Hajar.
25. Kita Fatawa Syar’iyyah (1/131)
26. Kiab ‘Alaa Maidah Al-Fikr Al-Islami (على مائدة الفكر الإسلامي) hal. 25.
27. Pendapat Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy
28. Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
29. Ibid.
30. Kitab Tafsir Al-Imam Al-Alusiy
31. Lihat : Sirah An-Nabawiyah wa Atsar al-Muhammadiyah, catatan pinggir As-Sirah Al-Halabiyah .
32. Kitab Haulal Ihtifal bidzikri Maulid Nabawi
33. Ibid.
34. Kitab Bayan Al-Qawim,
**. Mengenai pendapat Imam Ibnu Taimiyah terdapat dalam kitab Iqthidha’ Shirathal Mustaqim dan perlu penjelasan lebih rinci. Secara garis besar, Imam Ibnu Taimiyah tergolong ulama yang sangat ketat dan tidak mentolerir perbedaan apapun. Beliau bukanlah wahabi (sekte yang dinisbatkan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahulla) serta mengenai perayaan yang disyariatkan, wajib mengambilnya namun hari-hari istimewa seperti hari kemenanhan perang badar, perang Hunain, perang Khandak, hari fathul Mekkah dan sebagainya tidak wajib diambil demikian juga Maulid Nabi namun merayakannya mendapatkan pahala.